Sejarah

Periode perintisan Pesantren

Pondok Hidayatullah didirikan Oleh Ustadz  Amin  Mahmud Tahun 1994, petugas dari Pondok Pesantren Hidayatullah Pusat Balikpapan yang diutus untuk mendirikan cabang di Sumatera Selatan. Ustadz Amin Mahmud adalah santri pertama yang dinikahkan oleh pesantren. Pasca menikah, langsung ditugaskan berdakwah keluar kota Kaya Minyak, Balikpapan. Awalnya, dia masih berdakwah di sekitar Kalimantan, seperti Berau, Tarakan, Samarinda, dan Sempaja. Tak lama setelah itu, dia akhirnya dipindah lagi untuk bertugas ke luar provinsi. Tidak ada kata yang keluar ketika itu kecuali hanya kalimat pendek, “Sami’na wa’athona.”

Berbeda dari yang lain. Ustadz Amin Mahmud diberi pilihan tempat dakwah oleh mendiang Abdullah Said (Allahuyarham), pendiri Pesantren Hidayatullah, Balikpapan. Tetapi, pilihan itu sama-sama beratnya: Palembang, Sumatera Selatan atau Papua, Irian Jaya. Kabar tak sedap tentang dua daerah ini sering didengarnya. Baik dari cerita orang maupun media masa.

Palembang terkenal krimaniltasnya. Bahkan, konon, di Bumi Sriwijaya itu terkenal murah nyawa. Gara-gara masalah sepele bisa berabe. Ya, tetapi itu kata orang. Toh, Ustadz Amin Mahmud belum mengetahui langsung dengan mata kepala sendiri. Bisa jadi berbeda. Tetapi Papua? Daerah ini tidak kalah menantang. Sebuah daerah yang terletak di ujung negeri yang menyimpan banyak emas itu itu terkenal nyamuk malaria yang mematikan. Tidak hanya itu, nyamuknya juga konon ada yang sebesar anak ayam.

“Pilihan yang sama-sama berat,” ujar Ustadz Amin Mahmud dulu sekitar tahun 1999 di hadapan para santri di Pesantren Hidayatullah, Palembang.

Pilihannya lalu jatuh ke Palembang. Tentu dengan berbagai pertimbangan. Namun, sebelum itu, dia ditugaskan untuk berdakwah ke Dumai pada tahun 1989 untuk membantu seorang dai yang merintis di sana. Di daerah yang juga kayak minyak ini, hanya bertugas tiga tahun 1989-1991. Setelah itu, baru dipindahkan ke Palembang. Di kota yang terkenal makanan khas empek-empek ini dia bertugas cukup lama, yaitu sejak tahun 1991 sampai 2001 atau sekitar sepuluh tahun.

Seperti penugasan dai Hidayatullah pada umumnya. Ustadz Amin Mahmud membuka pesantren Hidayatullah cabang Palembang juga dari nol, dari tidak ada apa-apa. Boro-boro uang pesangon atau modal jutaan rupiah, uang yang dibawa saja cukup untuk transpor dan makan. Selebihnya harus mencari sendiri. Padahal, waktu itu dia membawa putra-putri yang masih kecil.

“Waktu itu zamanya susah sekali. Makan hanya dengan garam dan minyak jelantah,” ujarnya.

Tapi, tidak ada kata mundur dari gelanggang. Apapun keadaan dan tantangannya. Tugas dakwah harus dijalankan. Ustadz Amin Mahmud harus menjadi lentera penerang pedalaman Sumatera. Sekali layar terkembang pantang mundur ke belakang. Mungkin itulah semangatnya dalam membangun pesantren. Tentu dengan keyakinan bahwa Allah Subhanahu Wata’ala akan menolongnya. Seperti kata ayat yang selalu didengarnya dari mendiang pendiri Pesantren Hidayatullah Gunung Tembak, “Intansurullah yansurkum”   (Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu)

Ustadz Amin Mahmud mendapat lahan wakaf dari seorang dermawan di Desa Tanjung Merbau, Kecamatan Rambutan, Kabupaten Musi Banyu Asin. Jarak dari kota sekitar dua jam ketika itu. Cukup jauh. Lahan yang akan dibangun pesantren masih berupa hutan. Pepohonan besar tumbuh lebat dan sebagiannya berupa rawa-rawa. Tidak ada masyarakat tinggal di situ. Betul-betul sepi dan angker.

Sebelum pesantren dibangun, konon tempat ini dikenal angker. Tempat pembuangan mayat. Entah benar atau tidak. Yang jelas, menurut banyak orang seperti itu. Kadang juga katanya sering terlihat harimau yang lewat. Karena itu, jarang yang berani melewati jalan depan tempat ini pada malam hari karena takut. Mungkin karena itu lahan ini diwakafkan untuk dibangun pesantren agar ramai dan aman.

Karena belum ada rumah yang bisa ditempati Ustadz Amin Mahmud tinggal di kota. Selama itu pula dia harus pulang pergi hingga terbangun rumah dan masjid sederhana. Perlahan tapi pasti pesantren yang terletak di pelosok Rambutan itu pelan-pelan jadi. Bermula dari bangunan masjid yang cukup representatif, rumah Ustadz, asrama, dan gedung sekolah.

Qiyamul Lail

Bantuan dari orang berdatangan. Seperti air hujan yang turun dari langit. Seolah tidak ada hentinya. Ada saja orang yang datang ke pelosok itu dan memberi bantuan. Ada yang dikenal dan tidak. Padahal, kalau dipikir secara logika, mustahil. Begitu juga kata orang ketika itu, “Mau buat pesantren, ko, enggak bermodal.” Kata Ustadz Amin Mahmud bantuan itu tidak datang begitu saja. Itu digerakkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Bagaimana caranya? Shalat tahajud.

Oleh karena itu, Ustadz Ustadz Amin Mahmud dan para santrinya tidak pernah berhenti shalat tahajud setiap malam atau pukul 2.30 sampai selesai. Kadang sampai dua jam hingga menjelang shubuh. Untuk membangunkan santri, dibuat jadwal piket malam atau biasa disebut ribath. Ada dua tugasnya: menjaga pesantren dan membangunkan santri untuk shalat tahajud. Ini harus dilakukan. Sebab, pesantren tidak jUstadz Amin Mahmudan aman dari pencuri.

Buktinya, sapi pesantren pernah beberapa kali dicuri. Padahal, bentuknya besar dan bisa berbunyi. Sekali diambil dan dibawa ke hutan, hilang tanpa jejak. Tak bisa diambil. Begitu juga sepeda motor. Tetap saja digondol maling meski di dalam rumah. Bahkan, malingnya sempat makan di dapur. Konon, itu ilmunya: maling sambil makan bahkan buang air besar. Ada-ada saja.

Kendati sudah dipiketi, tetap saja kecolongan. Apalagi jika tidak ada piket. Entah apa jadinya. Mungkin sapi di dalam kandang bisa ludes. Selain untuk keamanan, yang lebih penting petugas ribath adalah membangunkan santri. Mereka mendatangi asrama yang berupa gubuk kayu dan papan yang terpencar di atas lahan seluas sekitar 20 hektar.

“Qummm. Qummm. Qummm. Qiyamul lail….!”

Itu suara yang tak asing lagi jika waktu pada pukul 2.00 dini hari. Petugas ribath akan mengetuk pintu dan membongkar kelambu dan menarik selimut. Petugas pun akan berkeliling dua kali. Jika yang ketiga kalinya masih tidur bakal disiram air. Tidak cukup di situ. Petugas takmir masjid akan mengumumkan dari pengeras suara. Bila demikian, tidak ada lagi santri yang berani bersembunyi di balik selimut. Jika ada berani melanggar. Siap-siap tunggu besok pagi menerima hukuman.

Pesantren mulai berkembang. Bangunan bertambah, khususnya rumah sederhana untuk para ustadz. Begitu pula asrama santri. Meski masih sangat sederhana: berupa gubuk bertingkat berdinding papan dan beratap daun ijuk. Ada sekitar enam gubuk yang ada. Gubuk itu berpencar di sudut-sudut pesantren. Jaraknya jauh, beberapa puluh meter. Sengaja dibuat seperti itu agar kompleks pesantren yang luas 20 hektar itu cepat terang.

Pindah ke Kudus, Jawa Tengah

Santri mulai banyak. Baik yang dari daerah sekitar, seperti Sako, Lingkis, Parit, Sungai Duo, Beringin, hingga dari kantong-kantong daerah transmigrasi. Kiprah dan keberadaan pesantren mulai dirasakan. Pesantren menampung santri yang tidak mampu. Ada juga yang yatim piatu. Semuanya ditanggung: asrama, pendidikan, dan makan. Gratis. Dananya dari mana? Allah!

Tidak hanya santri putra, pesantren juga menampung santri putri. Pendidikan yang baru ada Madrasah Tsanawiyah (MTs) setaraf SMP. Bagi yang mau melanjutkan ke jenjang selanjutnya, santri dikirim ke cabang lain yang sudah memiliki SMA dan ada juga yang dikirim ke Jawa, seperti Abdul Rosyid, Hizbullah dan Dadan Abdullah Fatah yang kelak jadi menantunya dan meneruskan estafeta perjuangan pesantren di Palembang.

Sayang, ketika pesantren sedang menggeliat dan kiprah Ustadz Amin Mahmud dirasakan masyarakat, dia harus pindah tugas lagi. Kali ini ke Kudus, Jawa Tengah. Semua yang dilakukan di Palembang ditinggalkan dan jadi warisan amal shaleh. Di tempat baru yang dikenal pusatnya para wali itu, Ustadz Amin Mahmud lebih banyak berdakwah. Itu juga tidak lama.

Setelah itu, pindah lagi dan merintis pesantren baru di Cepu, Jawa Tengah. Dia kembali berjibaku dalam dakwah. Tidak pernah berhenti. Meski usianya kian lanjut. Hidupnya telah diwakafkan untuk dakwah. Apapun yang terjadi tidak boleh mundur. Harus tetap di medan dakwah. Sama seperti merintis pesantren, di tempat itu dia harus bekerja keras. Dakwah dan berdakwah lagi. Bergeser tak mengenal henti.

Sekarang, Pondok Pesantren Hidayatullah Rambutan sudah memiliki lembaga pendidikan yaitu RA Yaa Bunayya, MI Mardhatillah (full day school), MTs Mardhatillah Putra/Putri (Boarding School), dan MA Mardhatillah Putra/Putri (Boarding School).